Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Test link

Lengkap Tata Busana dan Perlengkapan Tari Gandrung Banyuwangi

Sejarah tari gandrung banyuwangi – Kata “Gandrung” diartikan sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan ( Banyuwangi ) yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibukanya hutan “Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik sebagai bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang Demikian antara lain yang diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.
Mengenai asalnya kesenian gandrung Joh Scholte dalam makalahnya antara lain menulis sebagai berikut: Asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka membawanya di dalam sebuah kantong. (Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab “Gandrung Lelaki”).

Menurut cerita secara turun temurun, bahwa gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana (terbang).
Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Balambangan sebelah timur (dewasa ini meliputi Kab. Banyuwangi) yang jumlahnya konon tinggal sekitar lima ribu jiwa, akibat peperangan yaitu penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan Madura pada tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari kekuasaan Mangwi, hingga berakirnya perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dimenangkan oleh Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772.
Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuang dan yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran dengan mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup bercerai-berai di pedesaan, di pedalaman dan bahkan sampai yang masih menetap di hutan-hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan, kemudian mereka mau kembali kekampung halamannya semula untuk memulai membentuk kehidupan baru atau sebagaian dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum yang kemudian tinggal di ibukota yang baru di bangun atas prakarsa Mas Alit.

Setelah selesai ibu kota yang baru dibangun dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama hutan yang dibabad (Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan Kompeni (yaitu yang dewasa ini meliputi Daerah Kabupaten Banyuwangi).
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.

Baca Juga:

Artikel Lengkap Pengertian Tari Kreasi Baru dan Macamnya


Tata busana tari gandrung banyuwangi
Dalam pementasan tari gandrung memiliki ciri khas dalam berbusana dan property yang didominasi warna mera dan kuning mas dan warna hitam yang kontras.

Bagian Tubuh
Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

Bagian Kepala
Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.
Bagian Bawah

Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.
Lain-lain
Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.

Tata rias tari gandrung
Diantara kesenian khas Jawa Timur ada satu lagi tari tradisional yang penuh nuansa mistis. Ternyata tidak cuma Reog Ponorogo yang dalam pagelarannya harus menggerahkan kekuatan gaib. Termasuk tarian Gandrung asal Banyuwangi. Konon para penarinya terikat oleh aturan magis.
Dibalik gemerlap pagelaran tari Gandrung yang dibawakan wanita-wanita bertubuh sintal dan langsing, ada prosesi magis yang harus dilakukan oleh setiap penari sebelum memulai pertunjukan. Ritual khusus bernuansa magis itu sebagai persiapan penari agar dapat tampil menarik dan simpatik. Sebab, penari gandrung bukan sekedar ingin dapat memuaskan penonton, di samping itu juga berharap dapat uang tip dari orang-orang yang simpati padanya.

Ada beberapa persyaratan khusus bagi seorang penari gandrung sebelum naik ke pentas. Pertama, adalah dalam soal merias, sang penari harus melakukannya sendiri tanpa bantuan petugas rias. Karena itu sebagai syarat utama seorang penari Gandrung yang sudah profesional, dia harus bisa menata diri sendiri, terutama memoles wajah agar dapat tampil sedemikian menarik
Alat make-up yang digunakan tidak sembarangan, sebelum digunakan harus diberi mantera agar dapat membuat penari lebih percaya diri saat berada di atas panggung, dan penonton yang melihatnya akan terpesona setelah melihat wajah si penari. Prosesi ini memang cukup memakan waktu, di samping persiapan khusus yang harus dilakukan para penari.
Kadang dari persiapan ini saja, rombongan penari sebelum tampil harus merogoh kocek hingga ratusan ribu hanya untuk bisa tampil memukau penonton. Sebab selain itu masih ada persyaratan lainnya, yakni disediakannya sesaji yang terdiri dari kelapa, pisang, beras, gula, ayam dan alat kinang lengkap. Semua perlengkapan tersebut kemudian diletakkan di kamar penari rias dan tempat yang tidak jauh dari penabuh gong.

“Jangan heran kalau orang nanggap pagelaran Gandrung itu mahal, lha wong untuk persiapan tampil saja biayanya sudah besar,” ujar Marsudi, salah seorang anggota kelompok Gandrung di Banyuwangi. Tata cara persiapan lainnya, penari saat akan mengenakan kuluk (mahkota) maka terlebih dahulu membaca sebuah mantera sesuai dengan keinginannya. Itu dengan pantangan kuluk yang sudah dipakai tidak boleh dilepaskan hingga pementasan berakhir.
Mitos cara mengenakan kuluk tersebut sangat disakralkan lantaran berkaitan langsung dengan kejadian yang akan menimpa penari. Karena itu kuluk harus dirawat dengan benar dan diletakkan di tempat yang aman. Sebab, jika ada kejadian seperti kuluk terjatuh atau terlepas sebelum pagelaran berakhir akan berakibat pada penari yang mengalami musibah

Paling tidak selama menjadi penari dalam satu pagelaran penari gandrung harus siap selama 24 jam penuh. Pasalnya, rangkaian dari ritual mulai dari prosesi persiapan hingga akhir pagelaran mereka tidak boleh melepas pakaian khasnya sebelum dibacakan mantera dari “guru” atau orang yang dianggapnya lebih pintar. Karena itu untuk menjaga agar selama pagelaran penari tidak terganggu oleh urusan lain, semisalkan ingin buang hajat atau dirasuki rasa kantuk, mereka biasanya sudah memiliki amalan masing-masing yang diberikan oleh gurunya. Amalan tersebut akan dibaca sebelum penari naik ke pentas dan sesudah pertunjukan.

Properti tari gandrung
Properti yang digunakan antara lain :
  • Geter
  • Omprog
  • Ikat bahu, gelang
  • Ilat – ilat
  • Kepet
  • Pending
  • Otok/kemben
  • Renggoan werna-werna
  • Sembongan
  • Lakaran
  • Sampur
  • Lakaran batik gajah uling
  • Kaos kaki
  • Kipas

Penyajian tari gandrung
Tarian Gandrung Banyuwangi dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged Bumbung di BaIi, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Gandrung merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali. Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan “paju”.
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

Keunikan tari gandrung
GERAK
  • Titik tumpu, pada umumnya tarian Banyuwangi, bertitik tumpu pada berat badan terletak pada tapak kaki bagian depan (jinjid).
  • Tubuh bagian dada di dorong kedepan seperti pada tari Bali
  • Gerak tubuh ke depan yang di sebut dengan ngangkruk
  • Gerak persendian; terbagi dalam gerak leher,
misalnya:
1.Deleg duwur, yaitu gerakan kepala dan leher yang digerakkan hanya leher bagian atas saja, gerak kepala ke 2.kiri dan ke kanan.
3.Deleg nduwur atau dinggel, yaitu sama dengan atas hanya saja disertai dengan tolehan.
4.Deleg manthuk, yakni gerakan kepala mengangguk.
5.Deleg layangan, yaitu gerakan deleg duwur yang di sertai dengan ayunan tubuh.
6.Deleg gulu, yaitu gerakan kepala ke kiri dan ke kanan.
Di samping itu masih ada lagi gerak persendian bahu. Gerakan ini dalam tari gandrung terdiri dari:
  • Jingket, gerakan bahu yang di gerakan ke atas kebawah atau ke samping.
  • Egol pantat yang lombo dan kerep, yakni gerakan pantat ke kanan ke kiri mengikuti iringan musik gendang.
Sikap dan gerak jari, gerakan ini ada 3 (tiga) macam diantarannya:
  • Jejeb yaitu posisi tiga jari merapat dan telunjuk merapat pada ibu jari.
  • Cengkah yaitu keempat jari merapat dan ibu jari tegak kearah telapak tangan.
  • Ngeber yaitu telapak tangan terbuka, tangan lurus sejak pangkal lengan sampai ujung jari.
Permainan sampur, merupakan komunikasi antara pria dan wanita. Dalam hal ini ada beberapa macam antara lain :
  • Nantang, yaitu sampur di lempar ke arah penari pada gong pertama dan seterusnya.
  • Ngiplas atau nolak kanan dan kiri satu persatu.
  • Ngumbul, yaitu membuang ujung sampur ke atas kedalam atau keluar.
  • Ngebyar, yaitu kedua ujung sampur di kibaskan arah ke dalam atau ke luar.
  • Ngiwir, yaitu ujung sampur di jipit dan di getarkan.
  • Nimpah, yaitu ujung sampur disampirkan ke lengan kanan atau kiri pada gerakan sagah atau ngalang.
Sikap dan gerakan kaki, gerakan ini antara lain :
  • Laku nyiji
  • Laku ngloro
  • Langkah genjot
  • Langkah triol atau kerep.

Iringan tari gandrung
Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau duabuah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjakatau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung. Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing. Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi electone.
Dengan peralatan musik atau gamelan seperti yang terbuat di atas, maka dihasilkan beberapa gending gandrung. Perbendaharaan gending-gending gandrung merupakan gending-gending klasik yang sulit diketemukan penciptanya. Gending-gending itu dapat dipilih menjadi 7 bagian yang jumlahnya cukup banyak.Yakni,
  • Gending-gending klasik prasemi,
  • gending-gending klasik dijaman semi,
  • gending-gending seblang,
  • gending-gending sanyang,
  • gending-gending bali,
  • gending-gending jawa
  • gending-gending harah
(yang terdiri dari Gending Padha Nonton,Gending Sekar Jenang Ayun-Ayun, Maenang, Ladrang, Celeng Mogok,Ugo-Ugo, Lia-Liu, Lebak-Lebak, Lindoondo Krenoan, Gagak Serta, Limar-Limir, Gandraiya, Emek-Emek, Duduk Maling, Kembang Jambe, Kelam Okan, Jaran Dawuk, Sawunggaling, Gerang Kalong, Guritan, Erang-Arang, Blabakan, Embat-Embat, Keyok-Keyok, Kosir-Kosir, Tarik Jangkar, Krimping Sawi, Condrodewi, Opak Apem).
Sebagian gending yang terdapat berasal dari Sangyang dan Bali, seperti Gebyar-gebyur, Gulung-gulung Agung, sekar potel, Sandel sate, Surung dayung, dan Pecari putih. Sedang yang berpengaruh jawa cukup banyak, antara lain Sampak, Puspawarna, Pacung, kinanti, Angleng, Sinom, Ladrang Manis, Wida Sari, Sukmailing, Titipati, Damarkeli, ing-ing, Semarang dan masih banyak lagi.

Baca Juga:

Artikel Lengkap Tari Bondan Asal Surakarta | Tari Tradisional Indonesia


Perkembangan tari gandrung
Kesenian gandrung banyuwangi biasanya dilaksanakan diatas pentas ketika pesta perkawinan atau khitanan, dan berlangsung sepanjang malam. Panari gandrung biasanya menari bersama-sama, diikuti para pemaju. Penampilannya selalu didahului atau dibuka oleh tari pembuka yang biasa disebut tari jejer. Pada tari pembuka ini penari menari dan menyanyi tanpa pemaju, sebagai tanda ucapan selamat datang kepada para penonton, dan secara tradisional diiringi gending Podho Nonton. Acara inti dimulai beberapa menit setelah acara tari pembuka atau jejer diakhiri.

Penari gandrung menari dan menyanyi di atas pentas melayani para pemaju yang telah agak lama menanti. Pemaju yang berasal dari kata maju ‘maju, bergerak’, biasanya tampil atau beringsut ke arah muka dari kalangan penonton yang ingin ber¬sama-sama menari dengan penari gandrung di atas pentas, atau kadang-kadang karena mereka mendapat lemparan selendang atau sampur dari gandrung itu sendiri, kemudian bangkit dan naik ke pentas untuk menari memenuhi ajakan gandrung. Apabila ada pemaju yang berhasrat menari bersama gandrung, ia mendekati pentas, menyerahkan atau memberikan sejumlah uang kepada salah seorang pemukul gamelan pemegang keluncing, dan menyebutkan gending yang dimintanya.

Penari gandrung melayani hasrat itu dan mulai menari bersama di atas pentas. Begitulah proses terjadinya pemaju Banyuwangi yang berlangsung bergembira menari bersama gandrung sepanjang malam. Namun dalam perkembangannya dewasa ini, mengingat nilai seni dan sifat harga diri penari gandrung itu sendiri, proses pemaju seperti itu sudah tidak terlihat lagi.
Pemaju gandrung dewasa ini berhimpun dengan baik dalam wadah Persatuan Pemaju Gandrung. Umumnya setiap himpunan lebih memperhatikan nilai tari se¬hingga dengan sengaja mereka mempelajari atau membakukan jenis tari tertentu agar penampilannya di atas pentas memperlihatkan keindahan dan keserasian.

Biasanya setiap jenis gending atau tarian ditarikan oleh empat orang pemaju sekaligus agar dapat dijelmakan kaidah tari pemaju gandrung dalam etika dan estetika tari, sebab adalah tidak terpuji dan melanggar kesopan¬an jika teijadi singgungan di atas pentas antara penari gandrung dan pemajunya. Pelanggaran semacam itu akan mendapat um¬patan langsung dari penonton, dan mungkin dapat terjadi per¬kelahian antara penabuh gamelan dan pemaju.

Setelah acara menari dan menyanyi sepanjang malam, kira- kira menjelang fajar, acara ditutup dengan sebuah tari penutup yang biasa dikenal dengan nama tari seblangan. Pada tari penutup ini, gandrung menari sambil melagukan gending khas Ba¬nyuwangi seorang diri. Dia membawakan gending-gending yang bersifat romantis, erotik, religius, atau menyedihkan dan me¬ngandung nasihat, seakan-akan mengingatkan penonton akan keagungan Tuhan setelah bergembira ria sepanjang malam. Se-akan-akan mengingatkan kita agar kembali kepada keluarga, tugas, dan kewajiban sehari-hari. Sering penonton menghayati¬nya begitu dalam sehingga tanpa disadari air mata mengalir membasahi pipi.

Post a Comment