Dalam sejarah kesenian Betawi, Cokek merupakan salah satu hiburan 
unggulan. Selain luas penyebarannya juga dengan cepat banyak digemari 
masyarakat Betawi kota sampai warga Betawi pinggiran. Pada kurun waktu 
itu hampir tiap diselenggarakan pesta hiburan, baik perayaan perjamuan 
hajatan perkawinan hingga pesta pengantin sunat. Dan ragam acara yang 
bersifat pesta rakyat. Disanalah para penari Cokek mempertunjukan 
kepiawaiannya menari sambil menyanyi. Barangkali memang kurang afdol 
jika penari cokek sekadar menari. Karenanya dalam perkembangannya selain
 menari juga harus pintar olah vokal alias menyanyi dengan suara merdu 
diiringi alunan musik Gambang Kromong. Jadi temu antara lagu dan musik 
benar-benar tampil semarak alias ngejreng beeng.
Sayang sekali dalam buku “Ikhtisar Kesenian Betawi” edisi Nopember 2003 
terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, yang 
ditulis oleh H. Rachmat Ruchiyat, Drs. Singgih Wibisono dan Drs. H. 
Rachmat Syamsudin, tidak menyebutkan sejak kapan jenis tarian Cokek itu 
muncul ke permukaan. Tidak disebutkan pula secara jelas siapa tokoh atau
 pelaku pertama yang memperkenalkan tarian egal-egol sembari 
menggoyang-goyangkan pinggulnya yang kenes. Tentulah ada kegenitan lain 
yang dimunculkan oleh para penari tersebut untuk menarik lawan jenisnya,
 Ditambah kerlingan mata sang penari yang indah memikat para tamu lelaki
 untuk ikutan ngibing berpasangan di panggung atau pelataran rumah 
warga. Orang Betawi menyebut Tari Ngibing Cokek. Selama ngibing mereka 
disodori minuman tuak agar bersemangat. Mirip dengan Tari Tayub dari 
Jawa Tengah.
Baca Juga:
Artikel Tarian Cakalele Tarian Adat Dari Maluku
Nama “cokek” berasal dari gerakan 
para penari yang berjajar memanjang sambil melangkah maju-mundur 
mengikuti hentakan musik irama gambang kromong.
Dalam setiap perhelatan tari 
cokek, para penari biasanya akan mengajak para tamu untuk ikut menari 
bersama. Caranya cukup unik. Para penari akan mengalungkan selendang 
yang mereka kenakan ke leher para tamu. Biasanya tamu yang diaggap 
paling terhormat akan diajak menari bersama terlebih dahulu.
Dalam tari cokek, dikenal istilah 
ngibing. Bila tamu yang diserahi selendang oleh penari bersedia ikut 
menari bersama maka gerakan menari bersama itulah yang disebut ngibing. 
Lirikan genit para penari cokek akan terus dihadapkan ke arah tamu yang 
bersedia untuk menari bersama.
Baju kurung dan celana panjang 
dari bahan semacam sutera berwarna cerah dan mencolok akan menghiasi 
tubuh penari cokek. Kain warna yang serasi juga akan menghiasi bagian 
celana para penari cokek. Selendang panjang kain terikat pada bagian 
pinggang para penari dan dibiarkan terurai. Tata busana ini membuat para
 penari terlihat gemulai saat membawakan tari cokek.
Tamu terhormat
Begitu indah dan familiarnya jenis tarian ini. Para penari wanita yang 
berdandan dan bersolek menor, wajahnya diolesi bedak dan bibir bergincu,
 ditambah aroma wewangin minyak cap ikan duyung. Pada tarian pembukaan 
para penari berjoget dalam posisi berjajar ke samping, mirip posisi 
jejer panggung kesenian Ketoprak Jawa. Mereka merentangkan tangan 
setinggi bahu, sambil melangkahkan gerak kaki maju-mundur diiringi 
lagu-lagu khas Gambang Kromong. Kemudian mereka mengajak menari kepada 
para tamu yang hadir dengan mengalungkan selendang. Penyerahan selendang
 biasanya diberikan kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila 
sang tamu bersedia menari maka mereka pun mulai menari 
berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak dekat tetapi tidak
 saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada pasangan yang menari saling
 membelakangi. Kalau kebetulan tempatnya luas, ada beberapa penari 
berputar-putar membentuk lingkaran. Selesai menari, para tamu pengibing 
memberikan imbalan berupa uang kepada penari cokek yang melayani. 
Lumayan, dalam semalam tiap penari cokek bisa mengumpulkan uang yang 
cukup banyak jumlahnya. Bisa dibelanjakan barang-barang kebutuhan 
pribadi seperti pakaian, sepatu, sandal atau apa saja menurut kesenangan
 mereka.
Fungsi ekonomi
Dari sisi ini bisa ditafsirkan bahwa jenis tarian Cokek menyandang 
fungsi ekonomi. Para Wayang Cokek selain mendapat imbalan berupa uang 
dari penanggap juga mendapat tip dari para lelaki yang berhasil digaet 
ngibing bersama. Dulu boleh dibilang para seniwati Cokek mendapat 
penghasilan ajeg karena seringnya ditanggap. Beda dengan masa kini 
dimana jenis kesenian Cokek kurang mendapat pasaran. Di zaman teknologi 
modern, generasi baru Betawi di kota mau pun pinggiran merasa lebih 
senang menanggap musik Orgen tunggal yang menampilkan penyanyi dangdut 
berbusana seronok. Kemajuan dan pergeseran zaman memang sulit dicegah. 
Sekarang orang lebih suka memilih hiburan yang serba instan di depan 
layar televisi. Barangkali agar jenis kesenian Cokek tidak punah, 
hendaknya lembaga pemerintah daerah yang menangani jenis kesenian Betawi
 melakukan tindakan preventif pembinaan yang cukup gencar dan terus 
menerus.
Barangkali bisa menjadi contoh soal, sejak dahulu kala atau mungkin 
hingga sekarang penari Cokek tampil santun mengenakan busana yang 
menutup seluruh badan. Biasanya penari cokek memakai baju kurung dan 
celana panjang serta selendang melingkar dililitkan dibagian pinggang. 
Kedua ujung selendang yang panjang menjulur ke bawah. Fungsi selendang 
selain untuk menari juga bisa untuk menggaet tamu laki-laki untuk menari
 bersama. Keindahan busana itu pun tampak gemerlap terbuat dari kain 
sutera atau saten berwarna ngejreng banget, merah menyala, hijau, kuning
 dan ungu, temaram mengkilap berkilauan jika tertimpa cahaya lampu 
patromaks
Unsur hias pun terdapat di bagian kepala Wayang Cokek (sebutan bagi 
penari cokek). Dimaksud agar tampak lebih cantik dan indah jika kepala 
digoyang-goyangkan kekiri dan kekanan. Rambutnya tersisir rapi ke 
belakang. Ada lagi yang dikepang disanggulkan dengan tusuk konde jaran 
goyang seperti rias pengantin Jawa. Ditambah hiasan dari benang wol 
dikepang atau dirajut yang menurut istilah setempat disebut burung hong.
Baca Juga:
Kumpulan Daftar Jenis Suku Bangsa di Pulau Sumatera
Hidup enggan-mati ogah
Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, tari Cokek pada zaman dahulu 
dibina dan dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Cina yang kaya rata. Jauh 
sebelum Perang Dunia ke II meletus tari Cokek dan musik Gambang Kromong 
dimiliki cukong-cukong golongan Cina peranakan. Bisa dilihat dari lagu 
yang iramanya mirip lagu dari negerinya konglomerat Liem Swi Liong. 
Cukong-cukong peranakan Cina itulah yang membiayai kehidupan para 
seniman penari Cokek dan Gambang Kromong. Bahkan ada pula yang 
menyediakan perumahan untuk tempat tinggal khusus mereka. Di zaman 
merdeka seperti sekarang ini, tidak ada lagi yang secara tetap menjamin 
kehidupan dan kesejahteraan mereka. Ibaratnya seperti anak ayam yang 
kehilangan induknya. Walau pun sejak kurun waktu belakangan ini telah 
berdiri kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, 
namun cara pembinaannya masih belum maksimal. Sehingga kesenian Cokek 
sekarang sepertinya berada di ujung tanduk, hidup enggan mati pun ogah.
Searches related to Tari Cokek Asal Betawi
Searches related to Tari Cokek Asal Betawi
- asal usul tari cokek
- gerakan dasar tari cokek
- fungsi tari cokek
- tari cokek banten
- musik pengiring tari cokek
- makna tari cokek
- jumlah penari tari cokek
- nilai estetis tari cokek
